Sunday, November 20, 2011

Ketika Malaikat Bicara Haji

Alkisah, pada suatu musim haji, ada dua malaikat bercakap-cakap di dekat Kabah di Masjidil Haram.

- Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini?
- Enam ratus ribu.
- Berapa yang diterima hajinya?
- Hanya dua orang, salah satunya bahkan tidak menunaikan hajinya ke sini.

Kisah bernuansa sufi itu dinisbatkan kepada ulama Abdullah bin Mubarak yang bermimpi bertemu dengan dua malaikan saat ia tidur dekat Kabah. Dalam mimpi itu, malaikat menyatakan, seorang yang tidak pergi, tetapi diterima hajinya itu adalah Ali bin Al-Mufiq adalah tukang semir sepatu yang menyerahkan 3.000 dinar hasi jerih payah yang ditabungnya untuk bekal haji kepada seorang tetangga dengan anak-anak yang sudah tiga hari kelaparan.


ESENSI HAJI

Itu dulu. Itu di Damaskus. Di Indonesia, yang terjadi sekarang ini berbeda. Di media sosial Twitter terbetik pembicaraan bahwa meski tiap tahun jumlah jemaah haji kita terus meningkat, agaknya banyak di antara mereka adalah para koruptor yang menganggap bisa mencuci uang haramnya di Masjidil Haram.

Namun, ulama bilang, "Mereka beranggapan dari dosa, padahal haji yang dibiayai uang haram sama sekali tak akan diterima." Bahkan, seorang yang pergi haji, tetapi membiarkan tetangganya yang kelaparan pun tidak akan mabrur sekalipun uang yang dipakai berhaji itu uang halal.

Mungkin saja mereka lupa pada salah satu esensi ajaran Islam berupa Tauhid al-Ibadah, sebagaimana dicontohkan Ibrahim AS ('Alaihis Salam) dan keluarganya. Mungkin mereka lupa haji itu sebuah cermin pernyataan tekad tentang kesiapan menghamba kepada Tuhan, bukan kepada uang atau kekuasaan, yang secara tegas diwujudkan dalam kalimat talbiyah: Labbaik Allahumma Laka Labbaik. Haji itu sebuah penelusuran sejarah pengabdian Ibrahim AS dan keluarganya, sebuah "tapak tilas" pengorbanan bagi orang lain, demi ibadah kepada satu Tuhan Yang Mahaagung.

Al Quran menggambarkan secara tegas bahwa Ibrahim, istri, dan putranya, Ismail, adalah orang-orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, sehingga perintah apa pun akan mereka jalani meski hal itu bertentangan dengan perasaan atau pikiran mereka. Kata Ibrahim dalam doanya, "Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup, dan matiku kepunyaan Allah Rab al-Alamin...," Ismail juga demikian: siap disembelih sesuai dengan perintah Allah. Bagi Ibrahim dan keluarganya, penyerahan total, Tauhid al-Ibadah, itu adalah siap mengorbankan nyawa Ismail di meja sembelihan.

Namun, belakangan Allah gantikan nyawa Ismail dengan "Penyembelihan Agung" (bi dzibhin 'adziim). Ahli tafsir memaknai frase "Penyembelihan Agung" dalam Al Quran bukan sekedar penukaran Ismail dengan seekor domba (mana mungkin binatang lebih agung dari nyawa seorang nabi?), melainkan berupa pemenggalan anak-cucu Ismail, yakni Al-Husain AS.

Sejarah mencatat, pada 10 Muharram 61 Hijriah (8 Januari 680 M) Al-Husain mati syaid dengan kepala terpenggal akibat penentangannya terhadap penguasa Bani Umayyah yang tiran, Yazid bin Muawiyah. Al-Husain adalah cucu Nabi Muhammad SAW. Ia dan abangnya, Al-Hasan AS, adalah anak-anak putri Nabi, Siti Fatimah AS, yang menikah dengan khalifah ke-4, Ali bin Abi Thalib. Berhubung Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa, "Husain dari aku dan aku dari Husain."

Lama sebelum itu, Husain mengetahui bahwa mayoritas Muslimin menentang kekusaan Yazid. Tak kurang dari 12.000 surat diterima Husain dari penduduk Irak, Yaman, dan negeri lain; semua menolak kepemimpinan Bani Umayyah yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme itu.

Sesudah dicincang tentara yang dipimpin Shimr bin Dziljawshan, kepala Husain, dipermainkan bagai bola, digiring bersama putranya (yang sakit) Ali Zainal Abidin--yang jadi kakek moyang para sayid di dunia, termasuk para habib di Indonesia--dan para tawanan wanita keluarga Nabi Muhammad SAW, menuju istana Yazid di Damaskus, tempat ia biasa mabuk-mabukan dan bercengkrama dengan monyetnya.

Sebetulnya, Husain telah berada di Mekkah sekitar tiga bulan sebelum musim haji, tetapi ia membatalkan hajinya. Itu dilakukannya untuk menunjukkan, memerangi penguasa zalim, memperjuangkan keadilan, dan melepaskan rakyat yang lemah (al-mustadz'affin) dari penderitaan sebagai sebuah tindakan yang lebih penting.

Sekiranya Husain bersama 72 pengikutnya tak memerangi pasukan Yazid saat itu, barangkali brand Islam bakan berantakan, menjadi "Islam" yang ditentukan oleh ditaktor dan koruptor. Bukan Islam yang penuh akhlak mulia, yang menjunjung keadilan dan kekuatan pembebas manusia dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan kezaliman.

Kesyahidan Husain pada 10 Muharram--lazim disebut "Asyura'--itu kini jadi legenda di dunia, baik di kalangan penganut agama Syiah maupun Sunni. Di Indonesia, misalnya orang tabu mengadakan pesta (perkawinan, misalnya) pada bulan Syura. Saat itu, di banyak tempat seperti Pariaman, Sumatera Barat, masyarakat memperingatinya dengan acara Tabot atau Tabuik, sementara anak-anak yatim--mulai dari Aceh, Jawa, hingga Kalimantan dan Sulawesi--dijamu makanan semacam bubur merah-putih.


BERKORBAN UNTUK SESAMA

Keteladanan Husain itu jadi relevan untuk dikenang saat memperingati hari raya Kurban sekarang ini. Pertama, menjadikannya salah satu cermin beragama di "jalan lurus". Kedua, mengajarkan, berkorban diri untuk menggembirakan orang lain merupakan budi pekerti yang utama dalam Islam. Kata Nabi Muhammad SAW, "Aku diutus menyempurnakan akhlak."

Kepergian Husain utnuk berperang melawan 4.000-an pasukan bersenjata (bukan seperti teroris yang membunuh kaum sipil tak berdosa dan tanpa senjata), sebagaimana kesiapan Islam untuk mati, jadi teladan bahwa berkorban untuk orang lain sangat utama nilainya dibandingkan dengan ibadah ritual.

Nabi Muhammad SAW sendiri mengajarkan, orang yang menyantuni janda dan orang miskin, misalnya, mendapat pahala seperti pejuang di jalan Allah, seperti halnya orang yang terus-menerus shalat malam dan terus-menerus berpuasa. Demikian pula mencari ilmu satu hari lebih utama nilainya dibandingkan dengan puasa tiga bulan. Sebaliknya, tidaklah beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya kelaparan.

Walhasil, kita jadi bertanya, apakah koruptor yang berhaji masih bisa merasa tenang, ketika masyarakat di sekeliling mereka, yang miskin, dan terpinggirkan, akan menuntut hak mereka kepada Tuhannya orang lemah (Rabib al-Mustadz'affin)?" Islam menegaskan, doa kaum mustadz'affin atau tertindas sangat mustajab, apalagi jika para malaikat mengamini doa mereka.

Oleh SYAFIQ BASRI ASSEGAFF
Peneliti di Pusat Studi Islam
dan Kenegaraan
Universitas Paramadina

Sumber:

Kompas, Halaman 7
Sabtu, 05 Nopember 2011
08 Pahing Besar 1944
09 Dzulhijjah 1432 H

Artikel Lainnya:
Beranda (Home)
Toko Image Gambar
Ketika Malaikat Bicara Haji 
Di balik Dongeng Mina
Manfaat Puasa Bagi Kesehatan
Bacaan dan Cara Mengerjakan Shalat
Bimbingan Wudhu dan Tayammum
Muzzaki 
Misteri Santet dan Poligami
Poligami Siapa Takut?
Tafsir Qur'an Per Kata
Menikah dengan Ratu Jin Cantik
Sejarah Satu Muharram
Sejarah Imlek
Tahun Kabisat
Suiseki Asal Indonesia
Oh Messias
Makna Al-Masih 
Doa dan Ucapan Syukur
Pray for Japan
Misteri Alien
Akik Gambar Hantu Wewe Gombel
Akik Gambar Hantu Pocong
Tuyul
Keris
Daftar Film dan Sinopsisnya
Kalender, Hari Libur dan Bersejarah
Toko Image Gambar
Ke Beranda (Back to home)

Cara Instal Kdevelop

Pembaca budiman yang terbiasa menggunakan Kdevelop sebagai text editor untuk membuat atau membaca semua script yang dibuat. Berikut ini cara...